Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “Bapak Bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Di sana disebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan." Begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.
UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.
Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu” yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua. Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah, sehingga misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang menelantarkan anaknya (UU kesejahteraan Anak Ps 10, UU Perkawinan Ps 49, KUHPerdata Ps 319 tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum.
Hal
yang hampir sama juga terjadi pada pengadilan anak-anak. Sering dalam
prakteknya perlakuan terhadap si anak masih disamaratakan dengan orang
dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam proses sebelum dan setelah
itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti narkoba, dalam
prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam yang bisa
menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan pelaku
kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali
si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi,
justru malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya.
Kembali pada Kasus Anak jalanan, fakta menunjukkan bahwa anak jalanan di berbagai tempat telah banyak kehilangan
hak mereka sebagai anak. “Hak sipil” atau “hak sebagai warga negara
untuk memperoleh perlindungan negara atas keselamatan dan kepemilikan”,
adalah yang pertama yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Banyak
kasus yang menunjukkan bahwa anak-anak jalanan seringkali tidak di
anggap sebagai warga negara. Mereka dilarang untuk bertempat tinggal di
suatu kampung, atau bahkan diusir oleh aparat pemerintah di tingkat kampung
hanya karena mereka tidak memiliki KTP, padahal hak asasi manusia tidak
boleh diabaikan hanya karena status kependudukan seseorang. Lagi
pula peraturan tentang KTP hanya boleh dikenakan pada orang dewasa,
bukan anak-anak. Dengan diabaikannya Hak-hak sipil, akibatnya anak-anak
jalanan otomatis juga akan kehilangan hak-hak sosial yang semestinya
menjamin mereka untuk menikmati standar kehidupan tertentu.
Tidak
tercatatnya kelahiran seorang anak secara memadai menunjukkan bahwa
kebaradaan dan kebutuhan mereka tidak diantisipasi secara memadai pula.
Artinya si anak memang tidak pernah dianggap ada dalam konteks
kenegaraan, oleh karena itu tidak ada pula kebutuhan yang harus
dipenuhi. Anak-anak seperti ini beresiko tinggi untuk terhambat dalam
memasuki jenjang sekolah, akses terhadap pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial lain, serta rawan mendapat perlakuan salah dan eksploitasi dari berbagai pihak.
Kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anak jalanan jelas berkait dengan persoaln struktural. Seperti diketahui bahwa di Indonesia berlaku sistem pencatatan berdasar teritorial dengan KTP sebagai instrumen identitas yang berlaku. Fakta menunjukan bahwa KTP memang menjadi alat utama untuk orang untuk melakukan berbagai urusan, baik yang bersifat birokratis maupun urusan sosial-kemasyarakatan sehari-hari. Dengan demikian, KTP juga menjadi persyaratan utama bagi orang yang akan mencatatkan kelahiran anaknya. Lantas bagaimana dengan anak-anak terlantar yang tidak beribu-bapak ?
Kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anak jalanan jelas berkait dengan persoaln struktural. Seperti diketahui bahwa di Indonesia berlaku sistem pencatatan berdasar teritorial dengan KTP sebagai instrumen identitas yang berlaku. Fakta menunjukan bahwa KTP memang menjadi alat utama untuk orang untuk melakukan berbagai urusan, baik yang bersifat birokratis maupun urusan sosial-kemasyarakatan sehari-hari. Dengan demikian, KTP juga menjadi persyaratan utama bagi orang yang akan mencatatkan kelahiran anaknya. Lantas bagaimana dengan anak-anak terlantar yang tidak beribu-bapak ?
Dari
uraian di atas hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini ialah memulai
upaya mendesak negara untuk mempermudah pemenuhan Hak anak atas akte
kelahiran.
inilah sebuah bukti kegagalan pemerintah dalam menegakkan sebuah undang-undang yang telah mereka buat sendiri. sebuah keadaan yang membuat kita terjepit ditengah- tengah himpitan ekonomi yang membuat rakyat semakin meradang. tikus-tikus berdasi tertawa dengan segala fasilitasnya tapi mereka lupa akan rakyatnya.
ReplyDeletesuatu saat keadaan akan berubah, kita adalah penerus bangsa yang akan merubah takdir bangsa.
ReplyDelete