Skip to main content

Nasib Anak Jalanan


Setiap anak merupakan aset yang akan meneruskan cita-cita suatu bangsa, untuk mencetak anak-anak yang kelak dapat menjadi tulang punggung bangsanya harus dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan kebutuhan baik fisik, mental maupun sosial yang sesuai dengan masa tumbuh kembang suatu bangsa. Salah satu definisi yang paling sering digunakan mengidentifikasi anak jalanan ialah Seseorang yang berumur  di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya. Jalanan yang dimaksud tidak hanya mengacu pada pengertian  “jalan” secara harfiah, melainkan juga merujuk pada  tempat-tempat lain yang merupakan ruang-ruang publik yang memungkinkan siapa saja untuk berlalu-lalang, seperti Pasar, Alun-Alun, emperan pertokoan, terminal, stasiun, dan lain sebagainya.



Sampai saat ini istilah “Anak Jalanan” belum tercantum dalam Undang-Undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa UU yang menyangkut tentang anak-anak terlantar. Pasal 34 UUD45 menyebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam konteks ini paling tidak ada dua hal penting yang perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan “anak terlantar” dan  apa maksud dan bagaimana mekanisme “pemeliharaan” oleh Negara itu?

Istilah “Anak terlantar” yang digunakan para “Bapak Bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didefinisikan pemerintah melalui pasal 1 ayat 7 UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Di sana disebutkan  bahwa anak terlantar adalah  anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.  Selanjutnya pada pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa  “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan negara atau orang atau badan." Begitu juga dengan pasal 5 ayat 1 disebutkan  bahwa “anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar”.

UU. No 4 /1997 tersebut secara eksplisit juga menyoroti tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak. Pasal 9 menebutkan bahwa” Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.  Pernyataan itu diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat 1: ”orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagai mana termaktub dalam pasal 9 sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya”.

Dari beberapa konsep yang dikutip dari UU  di atas, dapat disimpulkan bahwa anak jalan termasuk dalam katagori “anak terlantar” atau “anak tidak mampu”  yang selayaknya mendapat pengasuhan dari negara. Sebagian besar anak jalanan memang merupakan korban dari penelantaran orang tua. Secara umum UU yang disebutkan di atas sebenarnya sudah cukup memadai untuk digunakan dalam upaya perlindungan anak-anak jalanan. Akan tetapi sejumlah peraturan yang seharusnya diterbitkan sebagai alat implementasi hukum sangat lambat ditindak lanjuti oleh pemerintah, sehingga  misalnya hukum yang mengatur pelanggaran orang tua yang menelantarkan anaknya (UU kesejahteraan Anak Ps 10, UU Perkawinan Ps 49, KUHPerdata Ps 319 tidak pernah mengakibatkan satu orangtua pun dihukum.
Persoalan lain yang menyangkut perundang-undangan itu ialah seringnya terjadi ketidakkonsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik  dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah.  Dalam peraturan penanggulangan masalah “Gepeng” (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas  dengan dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja bersebrangan dengan UU No. 4 tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada pengadilan anak-anak. Sering dalam prakteknya perlakuan terhadap si anak masih disamaratakan dengan orang dewasa, baik dalam persidangan maupun dalam proses sebelum dan setelah itu. Untuk persidangan kasus-kasus tertentu seperti narkoba,  dalam prakteknya juga tidak parnah ada analisis lebih dalam yang bisa menetapkan secara tepat apakah seorang anak itu memang merupakan pelaku kejahatan narkoba atau malah justru sebagai korban. Akibatnya seringkali si anak korban narkoba yang seharusnya dirawat di tempat rehabilitasi, justru malah dipenjara bersama dengan penjahat sebenarnya.

Kembali pada Kasus Anak jalanan, fakta menunjukkan bahwa anak jalanan di berbagai tempat telah banyak  kehilangan hak mereka sebagai anak. “Hak sipil” atau “hak sebagai warga negara untuk memperoleh perlindungan negara atas keselamatan dan kepemilikan”, adalah yang pertama yang terenggut dari kehidupan anak jalanan. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa anak-anak jalanan seringkali tidak di anggap sebagai warga negara. Mereka dilarang untuk bertempat tinggal di suatu kampung, atau bahkan diusir oleh aparat pemerintah di tingkat  kampung hanya karena mereka tidak memiliki KTP, padahal hak asasi manusia tidak boleh diabaikan hanya karena status kependudukan seseorang.  Lagi pula peraturan tentang KTP hanya boleh dikenakan pada orang dewasa, bukan anak-anak. Dengan diabaikannya Hak-hak sipil, akibatnya anak-anak jalanan otomatis juga akan kehilangan hak-hak sosial yang semestinya menjamin mereka untuk menikmati standar kehidupan tertentu.

Tidak diakuinya seorang anak sebagai warga negara erat kaitannya dengan tidak tercatatnya kelahiran anak tersebut. Padahal pengakuan Hak sipil pertama-tama harus diwujudkan dengan pencatatan kelahiran/akta kelahiran. Dengan kata lain, akta kelahiran merupakan pengakuan pertama negara atas keberadaan dan status hukum seorang anak. Dengan akta itu pemerintah memiliki alat dan data dasar dalam mengembangkan rencana dan anggaran  untuk pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya bagi anak-anak. 
Tidak tercatatnya kelahiran seorang anak secara memadai menunjukkan bahwa kebaradaan dan kebutuhan mereka tidak diantisipasi secara memadai pula. Artinya si anak memang tidak pernah dianggap ada dalam konteks kenegaraan, oleh karena itu tidak ada pula kebutuhan yang harus dipenuhi. Anak-anak seperti ini beresiko tinggi untuk terhambat dalam memasuki jenjang sekolah, akses terhadap pelayanan  kesehatan  dan  perlindungan sosial lain, serta rawan mendapat perlakuan salah dan eksploitasi dari berbagai pihak.

Kesulitan dalam mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anak jalanan jelas berkait dengan persoaln struktural. Seperti diketahui bahwa di Indonesia berlaku sistem pencatatan berdasar teritorial dengan KTP sebagai instrumen identitas yang berlaku.  Fakta menunjukan bahwa KTP memang menjadi alat utama untuk orang untuk melakukan berbagai urusan, baik yang bersifat birokratis maupun urusan sosial-kemasyarakatan sehari-hari. Dengan demikian, KTP juga menjadi persyaratan utama bagi orang yang akan mencatatkan kelahiran anaknya. Lantas bagaimana dengan anak-anak terlantar yang tidak beribu-bapak ?
Dari uraian di atas hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini ialah memulai upaya mendesak negara untuk mempermudah pemenuhan Hak anak atas akte kelahiran.

Comments

  1. inilah sebuah bukti kegagalan pemerintah dalam menegakkan sebuah undang-undang yang telah mereka buat sendiri. sebuah keadaan yang membuat kita terjepit ditengah- tengah himpitan ekonomi yang membuat rakyat semakin meradang. tikus-tikus berdasi tertawa dengan segala fasilitasnya tapi mereka lupa akan rakyatnya.

    ReplyDelete
  2. suatu saat keadaan akan berubah, kita adalah penerus bangsa yang akan merubah takdir bangsa.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LEGENDA SEMARANG (Bahasa Jawa)

Ing jaman kuna ing Jawa Tengah ngadeg kerajaan Demak sing dadi salah sawijining kerajaan Islam. Wonten pangeran misuwur jenenge yaiku Raden Made Pandan. Piyambake niku ulama lan Muh. Akeh wong kang hormat lan segan marang Piyambake. Piyambake nduweni putra sing jenenge Raden Pandanarang. Sami uga kaliyan bapake, Raden Pandanarang misuwur minangka putra ingkang sopan, ramah, becik lan hormat marang wong tuwa. Banjur Raden Made Pandan ngajak putra lan pandherekipun kanggo ninggalake Kesultanan Demak. Wong-wong padha menyang kulon kanggo nggolek tlatah anyar sing bakal dienggoni. Pirang-pirang dina ing dalan, banjur Raden Made Pandan mandheg lan ngrasa remen karo daerah sing ditemtokake kanggo dumunung. Alas kasebut kabukak lan didegke pondok pesantren lan tanah tetanen. Ing panggonan anyar kasebut Raden Made Pandan ngajar agama Islam marang pandherekipun. Suwe-suwe ing Tlatah kono akeh wong kang teka ngolek ilmu agama ing pondok pesantren. Ing panggonan kasebut Raden Made ...

LEGENDA KABUPATEN KENDAL (Bahasa Jawa)

  Kendal minangka kabupaten ing Jawa Tengah sing dumunung ing pantai Lor Jawa. Wilayah Barat kabupaten kendal batase karo Kabupaten Batang lan Wilayah Timur batase karo Kota Semarang. Kendal minangka kutha sing cukup tua lan jenenge dijupuk saka wit kendal. Wit sing godonge akeh iku wis dikenal wiwit jaman Kerajaan Demak ing taun 1500-1546   yaiku ing mangsa pemerintahan Sultan Trenggono. Wiwitane cerita Kendal yaiku ing jaman semono meh setengahe wong Jawa wis mlebu agama Islam. Kerajaan Majapahit sejatine isih ana, nanging pamore wis mudhun amarga perang lan agama Islam mlebu Tanah Jawa. Ditambah, Portugis alon-alon ngadake kerjasama dagang karo pantai utara Banten. Nanging, kendal dhewe penduduke isih agama Hindu amarga adipati Majapahit sing mimpin wektu kui, Mpu Pakuwojo. Dheweke yaiku adipati Majapahit sing isih ana lan uga agamane Hindu. Islam wis wiyar sanget amargi ngadekke Kerajaan Demak sing digawe dening Raden Patah uga minangka putra asli Majapahit...

LEGENDA DESA LALAP

Zaman dahulu kala ada sebuah cerita di tanah Sulawesi. Di sebuah pedalaman yang belum berpenduduk, karena sebagian besar berupa hutan sehingga hanya orang yang berlalu lalang ketika pulang dan pergi. Daerah tersebut banyak ditumbuhi tanaman lalap. Tanaman ini digunakan warga sekitar untuk membungkus makanan agar tetap awet dan maknyus. Sebelum terjadi perluasan daerah, wilayah tersebut masih merupakan bagian dari tuladenggi, namun karena manusia semakin banyak sehingga sebagian warga berpindah dan mendirikan rumah di beberapa bagian di sekitar hutan. Pelan tapi pasti, mulailah tumbuhan lalap berkurang karena di bersihkan untuk dijadikan rumah-rumah warga. Seiring berjalannya waktu desa ini semakin berkembang sehingga desa tersebut dinamakan Desa Lalap.  Perkembangan zaman dan perluasan wilayah menyebabkan tumbuhan lalap semakin sulit untuk ditemukan. Walaupun masih ada jumlahnya semakin berkurang. Hal ini di dikarenakan bahan pembungkus dari plastik dan kertas karena leb...