Hari jadi Kabupaten Demak
ditetapkan pada Tanggal 28 Maret 1503.
Hal ini merujuk pada peristiwa penobatan Raden Patah menjadi Sultan Bintoro
yang jatuh pada tanggal 12 Rabiulawal atau 12 Mulud Tahun 1425 Saka
(dikonversikan menjadi 28 Maret 1503). Dalam Babad Tanah
Jawi, tempat yang bernama Demak berawal dari Raden Patah diperintahkan oleh gurunya
(Sunan Ampel) agar merantau ke Barat dan bermukim di sebuah tempat yang
terlindung hutan/tanaman Gelagah Wangi letaknya berada di Muara Sungai Tuntang
yang sumbernya berada di lereng Gunung Merbabu (Rawa Pening).
Selain itu Kata Demak juga berasal dari kata
Bahasa Arab, yaitu Dhima' yang artinya rawa. Hal ini mengingat tanah di Demak
adalah tanah bekas rawa alias tanah lumpur. Bahkan sampai sekarang jika Musim
Hujan di daerah demak sering digenangi air, dan pada musim kemarau tanahnya
banyak yang retak, maklumlah karena tanahnya tanah bekas rawa alias tanah
lumpur. Selain
itu Prof.DR. Hamka menafsirkan kata Demak
berasal dari bahasa Arab “dama” yang artinya mata air. Selanjutnya penulis
Sholihin Salam juga menjelaskan bahwa Demak berasal dari bahasa Arab diambil
dari kata “dzimaa in” yang berarti sesuatu yang mengandung air (rawa-rawa).
Suatu kenyataan bahwa daerah Demak memang banyak mengandung air; Karena
banyaknya rawa dan tanah payau sehingga banyak tebat (kolam) atau sebangsa
telaga tempat air tertampung. Catatan : kata delamak dari bahasa Sansekerta
berarti rawa.
Menurut Prof. Slamet Mulyono, Demak berasal dari
bahasa Jawa Kuno “damak”, yang berarti anugerah. Bumi Bintoro saat itu oleh
Prabu Kertabhumi Brawijaya V dianugerahkan kepada putranya R. Patah atas bumi
bekas hutan Gelagah Wangi. Dasar etimologisnya adalah Kitab Kekawin Ramayana
yang berbunyi “Wineh Demak Kapwo Yotho Karamanyo”. Ada juga yang berpendapat bahwa
demak Berasal dari bahasa Arab
“dummu” yang berarti air mata. Hal ini diibaratkan sebagai kesusahpayahan para
muslim dan mubaligh dalam menyiarkan dan mengembangkan agama islam saat itu.
Sehingga para mubaligh dan juru dakwah harus banyak prihatin, tekun dan selalu
menangis (munajat) kepada Allah SWT memohon pertolongan dan perlindungan serta
kekuatan.
Kurang lebih 6 abad yang lalu, berdasarkan letak
geografisnya, kawasan yang bernama Demak ternyata tidak terletak di pedalaman
yang jaraknya kurang lebih 30 km dari bibir laut Jawa seperti sekarang ini.
Kawasan tersebut pada waktu itu berada di dekat Sungai Tuntang yang sumbernya
berasal dari Rawa Pening. Geografi kesejarahan mengenai kawasan Demak dapat
pula dibaca di buku Dames, yang berjudul “The Soil of East Central Java”
(1955). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Demak dahulu terletak di tepi
laut, atau lebih tepatnya berada di tepi Selat Silugangga yang memisahkan Pulau
Muria dengan Jawa Tengah.
Mengenai ekologi Demak, DR.H.J. De Graaf juga menulis
bahwa letak Demak cukup menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun
pertanian. Hal ini disebabkan karena selat yang ada di depannya cukup lebar
sehingga perahu dari Semarang yang akan menuju Rembang dapat berlayar dengan
bebas melalui Demak. Namun setelah abad XVII Selat Muria tidak dapat dipakai
lagi sepanjang tahun karena pendangkalan.
Menurut Prof. Soetjipto Wirjosoeprapto, setelah hutan
Gelagah Wangi ditebang dan didirikan tetrukan (pemukiman), baru muncul nama
Bintoro yang berasal dari kata bethoro (bukit suci bagi penganut agama hindu).
Pada kawasan yang berada di sekitar muara Sungai Tuntang, bukit sucinya adalah
Gunung Bethoro (Prawoto) yang sekarang masuk daerah Kabupaten Pati.
Menurut beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama
bintoro diambil dari nama pohon Bintoro yang dulu banyak tumbuh di sekitar
hutan Gelagah Wangi. Ciri-ciri pohon Bintoro mulai dari batang, daun dan
bunganya mirip dengan pohon kamboja (apocynaceae), hanya saja buahnya agak
menonjol seperti buah apel.
Kerajaan Demak pertama kali didirikan oleh Raden yang
masih keturunan dari Majapahit dengan seorang putri dari Campa. Demak merupakan
Kasultanan ketiga di Nusantara atau keempat di Asia Tenggara. Ibukotanya Demak
yang sekaligus digunakan sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyebaran agama
Islam yang diprakarsai oleh para Wali (Wali Songo). Menurut catatan pada tahun
1515 Kasultanan Bintoro sudah memiliki wilayah yang luas dari kawasan induknya
ke barat hingga Cirebon. Pengaruh Demak terus meluas hingga meliputi Aceh yang
dipelopori oleh Syeh Maulana Ishak (Ayah Sunan Giri). Kemudian Palembang,
Jambi, Bangka yang dipelopori Adipati Aryo Damar (Ayah Tiri Raden Patah) yang
berkedudukan di Palembang; dan beberapa daerah di Kalimantan Selatan,
Kotawaringin (Kalimantan Tengah). Menurut hikayat Banjar diceritakan bahwa
masyarakat Banjar dulu yang meng-islam-kan adalah penghulu Demak (Bintoro) dan
yang pertama kali di-islam-kan adalah Pangeran Natas Angin yang kelak
dimakamkan di Komplek Pemakaman Masjid Agung Demak. Di daerah Nusa Tenggara
Barat perkembangan agama Islam dipelopori oleh Ki Ageng Prapen dan Syayid Ali
Murtoko, adik kandung Sunan Ampel yang berkedudukan di Bima.
Pada masa Kasultanan Demak diperintah oleh Sultan
Trenggono, wilayah nusantara benar-benar dapat dipersatukan kembali. Kala itu,
Raja Samiam yang berasal dari kerajaan Sunda sudah memberikan izin kepada portugis untuk mendirikan kantor dagangnya di Sunda Kelapa.
Oleh karena itu, Sultan Trenggana akhirnya mengutus Fatahillah yang merupakan Putera Mahkota Sultan Samodera Pasai yang menjadi
menantu Raden Patah untuk bisa mencegah supaya Portugis tidak dapat menguasai
wilayah Sunda Kelapa dan Banten.
Sunda Kelapa merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan
Sunda. Pada waktu itu, Portugis membangun benteng yang ada di Sunda Kelapa.
Namun, kerajaan Demak tak senang dengan adanya keberadaan orang-orang Portugis
tersebut. Akhirnya, Fatahillah berhasil mengalahkan Portugis. Banten dan
Cirebon akhirnya dapat dikuasai oleh Fatahillah bersama pasukannya. Dialah yang
berhasil mengusir orang-orang Portugis dari kota Banten dan berhasil menyatukan
kerajaan Pasundan yang sudah rapuh. Karena jasanya ini, untuk mengenang
kemenangan tersebut maka Sunda Kelapa lalu diganti namanya menjadi Jayakarta
pada tanggal 22 Juni 1527.
Pasukan Demak mulai terus bergerak menaklukan
pedalaman dan berhasil dalam menundukkan sebagian wilayah yang berada di Timur.
Daerah-daerah yang masih memiliki kerajaan Hindu dan Buddha yang berada di Jawa
Timur lalu satu persatu dikalahkan yakni Wirosari dan Tuban pada tahun 1528,
Madiun pada tahun 1529, Lamongan, Blitar, Pasuruan dan Wirosobo pada tahun 1541
sampai dengan 1542. Mataram, Madura dan Pajang pun akhirnya jatuh kedalam
kekuasaan kerajaan Demak. Demi dapat memperkuat kedudukannya maka Sultan
Trenggana mengawinkan putrinya dengan Pangeran Langgar yang menjabat Bupati
Madura.
Selanjutnya, Putra Bupati Pengging yang bernama
Tingkir juga diambil menjadi menantu Sultan Trenggana dan ia diangkat menjadi
Bupati di Pajang. Dengan demikian seluruh pantai utara Jawa Barat sampai
Panarukan Jawa Timur (1525-1526) dikuasai oleh Kasultanan Bintoro. Kejadian itu
membuat Sultan Trenggana menjadi Raja terbesar yang ada di Demak. Sementara itu
Kediri takluk pada tahun 1527 yang berturut-turut kemudian diikuti oleh kawasan
yang ada di pedalaman. Sampai akhirnya Blambangan yang letaknya berada di pojok
tenggara Jawa Timur menyerah tahun 1546. Disinilah Sultan Trenggono gugur di
medan pertempuran ketika berhadapan dengan Prabu Udoro (Brawijaya VII).
Sejak Sultan Trenggana wafat, Kerajaan Demak dilanda
persengketaan dalam memperebutkan kekuasaan yang berada di kalangan keluarga
kerajaan. Pengganti Sultan Trenggana seharusnya ialah Pangeran Mukmin atau
Pangeran Prawoto selaku putra tertua dari Sultan Trenggana , namun kemudian
Pangeran Prawoto dibunuh oleh Bupati Jipang yaitu Arya Penangsang. Kemudian,
tahta kerajaan Demak akhirnya diduduki oleh Arya Penangsang. Namun keluarga
kerajaan ternyata tidak menyetujui atas naik tahtanya Arya Penangsang menjadi
Raja. Lalu akhirnya Arya penangsang berhasil dikalahkan oleh kerajaan Demak
berkat bantuan dari Jaka Tingkir. Sejak saat itu wilayah kerajaan Demak
dipindahkan ke Pajang.
Comments
Post a Comment